Minggu, 16 Agustus 2009

DUNIA DAPAT MELUPAKAN AKHIRAT


Ditulis OLEH Haryanto (08024)

I. PENDAHULUAN
Di dunia perjalanan manusia melalui proses yang panjang, dimulai bayi yang hanya minum air susu ibu lalu tubuh menjadi anak-anak, remaja dan baligh. Selanjutnya menjadi dewasa, tua dan berakhir dengan datangnya kematian. Proses ini tidak berjalan sama antara satu orang dengan yang lainnya, karena kematian dapat datang setiap saat, kapan saja dan tidak mengenal usia. Seseorang boleh meninggal saat masih bayi, ketika masa anak-anak, atau ketika sudah remaja dan dewasa, ketika sudah tua bahkan pikun.
Selaian Alqur’an menerngkan proses kehidupan manusia di alam dunia, AlQuran juga mengungkapkan bahwa diciptakanya manusia, kemudian dijinkan untuk menetap beberapa lama di alam dunia, bukanlah untuk main-main atau hanya sekedar pelengkap bagi kehidupan dunia ini saja, akan tetapi Allah menciptakan dan telah menetapkan untuk apa dan mengapa manusia dicipta dengan segala keunggulan dan kesempurnaanya. Dalam konteks ini setidaknya ada dua tujuan paling utama untuk apa dan mengapa manusia diciptakan, kemudian ditempatkan di bumi, yakni;
Pertama, untuk menjadi hamba Allah atau (Abdullah), dalam kedudukanya sebagai hamba Allah ini, manusia memiliki tugas dan kewajiban utama, yakni menyembah dan mengabdikan diri hanya kepada-Nya. Hal ini sebagaimana yang telah Allah tegaskan dalam firman-Nya:
      
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Ad-Dzaariyat : 56).
Kedua, sebagai wakil Allah dimuka bumi atau (khalifah fil ardy), tujuan ini sebagaimana yang terungkap dalam dialog antara Allah dan Malaikat, di ketika Allah hendak menciptakan manusia pertama (Adam), dan kehendak-Nya tersebut disampaikan kepada para Malaikat. Dihadapan para Malaikat Allah Ta’ala berfirman:
                     •         

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka (para malaikat) berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. Al-Baqarah : 30)
Mengutip pendapat Qurais Shihab, Amin Syukur (2000:166) mengatakan, bahwa surat al-Baqarah ayat 30 tersebut, terdapat tiga kata kunci, yaitu “ja’ilun”, “al ard” dan “khalifah” (manusia). Disini ada hubungan segitiga antara Tuhan, alam dan manusia. Tuhan telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengelola alam semesta dan Tuhan juga telah menaklukan alam kepada manusia.
Dan agar manusia dapat melaksanakan tugas yang dibebankan Allah dengan baik, maka Allah Ta’ala melengkapi manusia dengan perangkat pedoman hidup agar dalam menjalani hidupnya di muka bumi tidak tersesat. Kepada manusia Allah telah mengutus rasulNya, menurunkan wahyu Al-Qur’an dan hadits sebagai penjelas, agar manusia dapat mengaplikasikan pedoman itu secara jelas tanpa keraguan, Allah juga mengkarunia beberapa kekuatan hebat (potensi) yang denganya manusia dapat mengelola dan memanfaatkan bumi sesuai dengan kehendak sang pencipta.

II. PEMBAHASAN
A. Hakikat Dunia
Dunia merupakan medan ujian bagi manusia, bukan medan untuk pemuas kesenangan sesaat. Dunia adalah tempat persinggahan yang sementara saja, tidak kekal untuk selamanya, segala kesenangan dunia bersifat semu dan nisbi. Dalam hal ini Yunus bin Abi Ubaid mengatakan bahwa, kehidupan dunia hanya bisa disamakan dengan orang yang tidur, dalam mimpinya melihat hal-hal yang ia senangi sekaligus yang ia benci, tapi ketika sedang menikmatinya, tiba-tiba ia terjaga." Suka-duka hidup ini semisal mimpi-mimpi itu. Sedangkan terjaga dari mimpi adalah misal dari kematian.
Dan Umar bin Abdul-'Aziz berakta: "Dunia itu sesungguhnya bukan tempat yang kekal untuk kita. Allah sendiri telah menakdirkannya fana, dan kepada para penghuninya telah digariskannya hanya melewatinya saja."
Lebih mendalam, Al-Hasan juga prnah menjelaskan tentang hakikat dunia ia berkata: “Alangkah nikmatnya kehidupan alam dunia bagi orang-orang mukmin. Karena mereka senantiasa berbuat dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan surga. Dan sungguh keji dunia bagi orang kafir dan munafik, karena mereka membiarkan waktu malamnya berlalu, sementara bekalnya akan membawanya ke neraka." Karena mereka senantiasa berbuat dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan surga. Dan sungguh keji dunia bagi orang kafir dan munafik, karena mereka membiarkan waktu malamnya berlalu, sementara bekalnya akan membawanya ke neraka."
Oleh karena dunia hanyalah persinggahan yang sementara, dan kita ini ternyata hanyalah seorang pengembara yang harus kembali ke tanah airnya, maka kita harus mepersiapkan bekal yang cukup, bekal yang kita butuhkan ini bukan berupa harta, istri yang cantik atau anak-anak yang tampan dan manis, tapi bekal yang harus kita siapkan adalah takwa, taqwa kepada Allah Ta’ala.
Sehubungan dengan hal ini dalam salah satu khutbahnya sayidina Umar Ibnul-Khaththab mengatakan: "Setiap perjalanan mesti ada bekalnya, maka bekalilah perjalanan Anda dari dunia ke akhirat dengan takwa. Jadilah seperti orang yang melihat dengan mata kepalanya adzab yang Allah persiapkan baginya untuk kemudian disadari dan tumbuh perasaan takut. Janganlah Anda terlalu lama membiarkan waktu berlalu sehingga hati Anda terlalu mengeras."
Dunia adalah alam yang fana dan bohong belaka, keindahan dunia Allah ciptakan dengan maksud agar manusia mengenal-Nya. Itulah maksud Allah SWT menciptakan akal. Adanya langit, matahari, bintang, bulan, lautan, gunung-gunung adalah agar manusia paham siapa yang menciptakannya. Agar akal manusia paham bahwa dibalik semua itu ada yang menciptakan dan yang mengaturnya. Maka nanti ketika kita mati, akal kita akan ditanyai untuk apa digunakan selama hidup di dunia. Tanggung jawab akal kita yang pertama harus kita tunaikan adalah bagaimana akal kita ini mengenal dan memahami Allah Swt.
Dunia ini adalah ibarat sebuah lubang kecil yang menghubungkan antara alam ruh dengan alam akhirat. Alam dunia diapit oleh dua alam yang memiliki dimensi yang besar sekali yaitu alam ruh dan alam akhirat. Alam ruh adalah alam dimana kita pernah tinggal dan berjanji dan mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam, namun ketika kita dihadirkan ke alam dunia (dilahirkan), maka sebagain diantara kita lupa akan janjinya (kontrak) yang telah kita buat dengan Allah itu.
Dunia adalah tempat persinggahan sementara yang sangat singkat waktunya. Dahulu Rasulullah SAW sering menasehatkan kepada para sahabatnya agar para sahabat senantiasa takut dan menangis akan kedahsyatan alam akhirat. Sehingga ketika Rasulullah menceritakan kedahsyatan alam akhirat para sahabat seperti benar-benar melihat alam akhirat dan kebanyakan mereka berjatuhan pingsan mendengarnya. Para sahabat senantiasa takut akan alam akhirat, sehingga mereka giat dan berlomba-lomba untuk berbuat amal shaleh agar mereka dapat selamat dari azab alam akhirat. Sholat mereka senantiasa membawa rasa takut dan cemas yang luar biasa. Sehingga tak jarang para sahabat dalam sholatnya dijumpai menangis menggigil karena takut akan Allah Swt dan alam akhirat. Sebaliknya kita sholat menangis karena takut akan miskin di dunia.
B. Bahaya Cinta Dunia Berlebihan
Dewasa ini begitu banyak manusia yang tertipu oleh kehidupan dunia, mempertuhankan harta duniawi dan beranggapan bahwa kenikmatan duniawi adalah segalanya, sehingga mereka rela bekerja begitu keras bahkan sampai 12 jam lebih sehari hanya untuk kebahagiaan di dunia. Namun sayangnya banyak yang tidak menyisakan setengah jam pun untuk kehidupan akhirat dengan zikir dan beribadah kepada Allah. Orang yang demikian ini dalam alQur’an dikatakan sebagai orang yang menjadikan agama sebagai main-main dan senda gurau. [Qs. Al A’raaf:51]
Bahkan ada yang tidak mau mengingat Allah sama sekali dan menganggap kehidupan akhirat hanyalah kebohongan yang hanya dipercaya oleh orang-orang yang fanatik agama.
Dan diantara manusia ada yang suka menumpuk harta dan berbangga tentang banyaknya harta dan anak. Padahal hidup manusia di dunia rata-rata tidak lebih dari 70 tahun. Setelah itu mereka mati dan masuk ke dalam lobang kubur. Jabatan, Harta dan anak tak berguna lagi bagi mereka ketika sudah dikubur.
                                          
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Haddid:20)
Sungguh kehidupan duniawi hanyalah permainan, karenanya orang yang mementingkan urusan duniawi semata-mata tanpa mementingkan urusan akhirat akan mendapat kerugian dan azab Allah. Allah berfirman:
                      •       •   
"Barang siapa mengkehendaki hidup di dunia, dan perhiasannya Kami sempurnakan pekerjaannya di dunia sedang mereka tiada mereka di rugikan. Tetapi tidak ada lagi bagi mereka di akhirat, melainkan neraka. Dan hapuslah apa- apa yang mereka perbuat di dunia dan binasalah apa- apa yang mereka amalkan." (QS.Hud: 15-16).
Mempertautkan hati dengan dunia, mencintai dan mengangap dunia segalanya adalah perbuatan yang benar-benar tercela dan membawa dampak yang sangat buruk bagi hidup dan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Namun demikian hal ini bukan berarti kita harus mengebiri dan tidak mau sama sekali dengan urusan dunia, bukan demikian. Karena Allah itu indah dan Dia suka keindahan dan Allah suka jika pengaruh nikmat yang diberikan-Nya ada dan tampak pada seorang hamba. Hanya saja kita jangan berlebih-lebihan dan mubadzir serta menuruti segala kesenangan dunia dengan tidak semestinya. Dengan perkataan lain, Islam tetap menganjurkan kita untuk mencari kehidupan dunia, hanya saja hal tersebut jangan sampai menjadikan kita lupa akan Allah dan kehidupan akhirat. Bagaimanapun juga akhirat lebih baik dan lebih kekal. Dan kehidupan akhirat itulah kehidupan yang sejati.
C. Zuhud Terhadap Dunia
1. Sekilas Tentang Zuhud
Cinta terhadap dunia sungguh akan dapat melupakan kita dari allah dan kehidupan akhirat, oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh terpaku hatinya terhadap persoalan/keindahan duniawi yang semu, sehingga melupakan Allah dan kehidupan akhirat yang kekal.
Dan karena itu pula, islam menganjurkan kita untuk Zuhud terhadap dunia, Zuhud dalam pandangan ulama Salaf adalah kondisi ketiadaan hasrat kepada dunia dan kekosongan hati dari ketergantungan terhadap dunia.
Untuk lebih memperdalam pengertian zuhud ini, maka akan dikutibkan beberapa pendapat ulama salaf tentang hal ini, Imam Ahmad mengatakan bahwa Zuhud terhadap dunia adalah pendek angan-angan”. Sedangakan Al-Junaid mengatakan jika Zuhud adalah menganggap dunia itu kecil dan menghilangkan bekasnya dari hati”. Dan menurut Abu Sulaiman Ad-Darani “Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang menyibukkanmu dari Allah”. Dalam pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tak berfaidah bagi akhirat.
Kemudian jika kita menyimak Al-Qur’an dan Hadist ternyata cukup banyak anjuran agar kita Zuhud terhadap dunia, diantara ayat-ayat yang mendorong bersikap zuhud adalah, firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 57 yang berbunyi: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbanggabangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS. Al-Hadid 57 : 20).
Dan juga firman Allah yang mengatakan:
                       
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy-Syuuraa 42 : 20)
Adapun hadits-hadits Nabi Saw yang mendorong kepada zuhud terhadap dunia, menganggap kecil dunia dan menjauhkan diri dari dunia adalah Sabda baginda kepada Ibnu 'Umar Ra: “Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah orang yang asing dan seorang pengembara.” (HR. Bukhari). Dan juga sabda Rasul Saw yang mengatakan: “Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan ibarat seseorang di antara kalian yang memasukkan jarijemarinya ke dalam lautan samudera, maka lihatlah apa yang diperoleh darinya.” (HR Muslim).
Dan dalam hadist shahih yang diriwayatkan oleh Imam ath-Turmudzi dan Imam Ahmad, diunkapkan jika baginda Saw pernah bersabda: “Apakah urusanku dengan dunia ini, sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ibarat seorang pengembara yang sedang tidur di bawah naungan pohon pada hari yang panas, kemudian beristirahat lalu meninggalkannya.” (HR Turmudzi, Ahmad).

2. Hakikat dan Urgensi Zuhud
Zuhud terhadap dunia adalah sebagaimana yang diamalkan Rasulullah Saw dan sahabat-sahabat beliau. Zuhud bukanlah mengharamkan hal-hal yang baik dan mengabaikan harta, tidak pula zuhud itu berpakaian dengan pakaian yang kumal penuh tambalan. Zuhud bukanlah duduk bersantai-santai di rumah dan menunggu sedekah, karena sesungguhnya amal, usaha dan mencari nafkah yang halal adalah ibadah yang akan mendekatkan seorang hamba kepada Allah, dengan syarat menjadikan dunia hanya pada kedua tangannya tidak menjadikannya di dalam hatinya. Jika dunia itu terletak di tangan hamba bukan di hatinya, sama menurut pandangannya baik ketika ia sejahtera maupun sengsara.
Tidaklah ia bersuka cita dengan kesejahteraannya dan tidaklah pula ia berduka cita dengan kesengsaraannya.
Berkata Ibnul Qayyim dalam mensifati hakikat zuhud ini, “Tidaklah yang dimaksud dengan zuhud adalah menolak dunia, seperti kekuasaan, adalah Sulaiman dan Dawud ‘alaihima salam adalah termasuk orang terzuhud pada masanya, namun mereka memiliki harta, kerajaan dan para istri.
Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah manusia yang paling zuhud secara mutlak dan beliau memiliki sembilan istri. Ali bin ‘Abi Tholib, Abdurahman bin ‘Auf, Zubair bin Awwam dan 'Utsman bin ‘Affan Radhiallahu‘anhum, walaupun termasuk orang-orang yang zuhud namun mereka adalah orang-orang yang berharta.
Adalah termasuk kebaikan apa yang dikatakan tentang zuhud, perkataan yang baik atau selainnya, yaitu tidaklah termasuk zuhud terhadap dunia dengan mengharamkan yang halal dan mengabaikan harta. Namun, zuhud adalah menjadikan apa-apa yang di tangan Allah lebih kau yakini daripada apa-apa yang ada pada tanganmu.
Datang seorang lelaki kepada Al-Hasan dan berkata: Aku punya tetangga yang tidak maumakan ‘Faludzaj’ (semacam pudding atau agaragar,pent.). Berkata Hasan: Mengapa tidak mau? Orang itu menjawab: tetanggaku berkata, aku tak mampu memenuhi terima kasihnya. Berkata Hasan: Sesungguhnya tetanggamu itu jahil, apakah ia membalas terima kasihnya air yang dingin?!
Sesungguhnya zuhud terhadap dunia tidaklah sebatas perkataan-perkataan yang disukai semata, namun zuhud merupakan perkara yang harus bagi setiap orang yang menghendaki Ridha Allah beserta ganjaran surganya, mencukupkan diri dengan keutamaannya yang mana zuhud merupakan ikhtiarnya Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: Tidaklah sempurna hasrat kepada akhirat kecuali dengan zuhud terhadap dunia. Lebih memuliakan dunia daripada akhirat akan berimplikasi kerusakan pada keimanannya, atau pada akalnya, atau bahkan pada kedua-duanya.
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengesampingkan dunia di belakang punggungnya, demikian pula sahabat-sahabatnya, mereka menjauhkan hatinya dari dunia, mereka memperingatkan darinya dan tidak condong kepadanya, memusuhinya laksana penjara baginya bukan sebagai surga. Mereka zuhud dengan sebenar-benarnya zuhud, walaupun mereka ingin meraih segala rupa yang dicintai dari dunia, dan mencapai segala hal yang disukainya. Akan tetapi mereka mengetahui bahwa dunia itu negeri duka cita bukan negeri suka cita, mereka mengetahui bahwa dunia itu laksana awan pada musim panas yang akan lenyap sedikit demi sekdikit, ibarat impian khayalan yang takkan menyempurnakan kunjungan hingga diizinkan baginya bepergian.
Lebih jauh lagi, Ibnul Qayyim rahimahullah, juga berkata bahwasanya Zuhud itu bermacam-macam, di antaranya:
a) Zuhud terhadap perkara yang haram, dan hukumnya adalah fardhu ‘ain.
b) Zuhud terhadap syubuhat. Hukumnya menurut tingkatan kesyubuhatannya. Jika syubuhatnya kuat, maka hukumnya wajib dan jika syubuhatnya lemah, maka hukumnya mustahab/sunnah.
c) Zuhud dalam hal keutamaan, yaitu zuhud terhadap apa-apa yang tak bermanfaat dari ucapan, pandangan, pertanyaan , pertemuan, ataupun lainnya.
d) Zuhud terhadap manusia.
e) Zuhud terhadap diri sendiri, dengan cara mempermudah dirinya dalam beribadah di jalan Allah.
f) Zuhud terhadap perkara keseluruhan, yaitu zuhud terhadap perkara-perkara selain untuk Allah dan setiap perkara yang menyibukkanmu dari diri-Nya.
g) Dan zuhud yang paling utama adalah memelihara zuhud itu sendiri… hati yang bergantung pada syahwat maka tidak sah zuhud dan wara’nya.
Sedangkan Jalaludin Rahmat (1997:114) membagi zuhud dalam dua karakteristik, pertama, tidak menggantungkan kebahagian hidupnya dengan apa yang dimiliki, karena pola hidup yang demikian ini sangat merendahkan martbat manusia, kedua, kebahagian seorang zahid bukan terleta pada hal-hal yang bersifat material, tetapi lebih pada hal-hal yang bersifat spiritual.
Dan agar memperoleh zuhud ini, maka seseorang dapat melakukan berapa hal yang diantranya adalah:
Memandang dunia akan kesegeraan keberakhirannya, kefana’annya, kekurangannya, kehinaannya dan penuh sesaknya akan kesedihan, kesusahan dan kepayahan di dalamnya.
Memandang akhirat akan kesejahteraannya, kedatangannya yang pasti, kelanggengannya, kekekalannya dan kemuliaan di dalamnya yang penuh kebaikan-kebaikan.
Memperbanyak mengingat kematian dan negeri akhirat.
Mengantarkan jenazah sembari memikirkan penderitaan orang tua kita dan saudara-saudara kita. Mereka tidak membawa sesuatu apapun ke kuburan-kuburan mereka dari harta dunia, dan tidaklah pula bermanfaat kecuali amal-amal sholeh mereka.
Mencurakan segalanya demi akhirat, menetapinya dengan ketaatan kepada Allah dan mengisi waktuwaktunya dengan dzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
Lebih mendahulukan maslahat-maslahat agama di atas maslahat-maslahat dunia.
Berderma, berinfak dan memperbanyak sedekah.
Meninggalkan majlisnya ahli dunia dan menyibukkan diri dengan majelis-majelis akhirat.
Sederhana dalam makan, minum, tidur, tertawa dan bercanda.
Menelaah kisah-kisah para zahidin terutama sirah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya (http://dear.to/abusalma)



III. PENUTUP
Sungguh teramat banyak ayat dan hadits yang membicarakan tentang sikap seorang mukmin terhadap harta dan dunia, namun yang penting bukan banyaknya ayat atau hadistnya, akan tetapi tujuan dari ayat dan hadits itu, yakni agar menjadi pengingat dan membangunkan kita keterlenaan, membuka hati dari tutup yang menyelimutinya karena terbuai oleh gemerlap dunia yang menipu, dan terus asyik terlena dengan segala kenikmatannya.
Seorang muslim tak perlu heran dan iri hati dengan pola kehidupan orang kafir yang mengumbar segala kesenangan dan kenikmatan duniawi, yang seakan bagi mereka tidak ada lagi kenikmatan yang lain, selain apa yang mereka nikmati di dunia ini, Allah berfirman: “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang.Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (QS. 47:12)
Orang-orang kafir di akhirat tidak mendapatkan bagian sedikit pun, sedangkan orang-orang mukmin mereka hidup di dunia ini seperti layaknya seorang musafir yang melakukan perjalanan menuju akhirat, karena manusia tidak ada yang tahu kapan dia meninggalkan dunia ini menuju alam Barzakh, lalu ke kampung akhirat yang menjadi tujuan dan akhir dari perjalanannya.
Seorang mukmin meski menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sementara dan menyakini jika kematian pastilah akan datang, sehingga mendorong dirinya untuk menginfakkan harta kepada hal-hal yang memberikan manfaat untuk akhirat. Yakni dengan membelanjakannya dengan cara yang baik untuk keperluan diri dan keluarganya serta masyarakat dan kaum muslimin. Nabi Saw bersabda: "Bermegah-megahan (dalam harta, dan perkara dunia) telah melalaikan kamu semua." Lalu beliau bersabda; "Manusia mengatakan: ”Hartaku,hartaku! Padahal kamu tidak mempunyai harta selain apa yang telah kamu sedekahkan dan telah kamu lakukan, atau apa yang kamu makan lalu lenyap, dan apa (baju) yang kamu pakai lalu telah koyak." (Hr. Ath Tirmidzi)
Allah menjelaskan kepada kita tentang cara membelanjakan harta, yakni tujuannya untuk mencari akhirat supaya berhasil meraih surga. Namun di sisi lain, kita tidak melupakan bagian kita di dunia dengan mengambil harta yang dibolehkan sesuai kebutuhan. Dan tidak berlebihan dan tenggelam dalam buaian harta, sehingga segala sesuatu harus diukur dengan harta dan materi.
Sebagai seorang muslim kita juga meski menyadari bahwa seluruh nikmat, harta dan kekayaan apa saja yang kita miliki adalah dari sisi Allah subhanahu wata’ala, yang dititipkan dan dikuasakan kepada kita untuk menguji dan melihat apa yang kita lakukan terhadap titipan tersebut, yang nantinya kita akan ditanyai dari mana ia didapat dan ke mana dibelanjakan, sebagaiamana yang telah Rasulullah terangkan dalam sabdanya: "Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari Kiamat sehingga ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang ilmunya apa yang di kerjakan dengannya, tentang hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan dan tentang badannya untuk apa dia pergunakan." (HR at-Tirmidzi)







SUMBER BACAAN
Abu Salma al-Atsari, “Dunia Ladang Bagi Akhirat”, Disusun oleh Departemen Ilmiah Darul Wathon,
Achmad Sunarto,2000 “Himpunan Hadist Qudsi” Cetakan: I- Penerbit: Setia Kawan
Ahmad, Maftuh “Mutiara Hadist Shahih Bukhari”, Bintang Pelajar, Gresik
Al Ghazali, Muhamad 1990 “ Mukhtasyar Ihya’ Ulumudin”. Penerbit Muasasah Al- Kutub Al- Tsaqafiyah. Cet I Bairut.
CD Room Al Bayan 1996 “Hadist Riwayat Bukhari Dan Muslim” keluaran pertama 01. Hak cipta Sakhr.
Depag RI,1989. ‘Al Qur’an dan Terjemahannya” Toha putra. Semarang
Dr. Ahmad bin Sulaiman al- Uraini. (Ibnu Djawari), “Tsalatsun majlisan fi irsyad al-ummah” tt,
Dr. Muhammad Faiz Almath “1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad), Penerbit Gema Insani Press
HaditsWeb (kumpulan hadist & referensi belajar hadist) disusun oleh Sofyan Efendi Maret 2006. http://opi.110mb.com
http://dear.to/abusalma
Rahmat, Jaluludin ”Renungan-Renungan Sufistik, Bandunng Mizan 1997,
Syukur, Amin “Zuhud Di Abad Modern” Pustaka pelajar. Yokyakarta 2000

Tidak ada komentar: